Rabu, 10 Oktober 2012

Pasar Protein Hewani Terkepung Impor


Beberapa bulan yang lalu KKP (Kementerian Kelautan & Perikanan) menolak memberikan izin impor bakso ikan dari Malaysia. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, 20 juta butir atau setara 500 ton per bulan. Permintaan izin itu diajukan oleh tiga importir Indonesia.

Kalau saja izin itu diluluskan, niscaya 505 unit industri  pengolahan ikan skala besar dan sekitar 20.000 unit pengolahan skala rumahan, lambat atau cepat, akan menuai nasib yang sama dengan industri tekstil maupun industri manufaktur yang sudah lebih dulu babakbelur atau bahkan terkubur. Selama ini khalayak tahu bahwa tanpa izin pun bakso ikan dari Malaysia secara ilegal telah masuk ke pasar Indonesia, baik lewat Batam, Medan, atau pun Entikong – Kalimantan Barat, seiring dengan lele, teri, kembung, patin, daging sapi, ayam pedaging (broiler) dan telur.

Dengan upaya memasukkan bakso dari negeri jiran itu, kian rapatlah kepungan komoditi impor berkandungan protein hewani siap melahap pasar raksasa negeri agromaritim yang kaya sumberdaya alam ini. Sapi dan daging sapi impor dari Aussie, New Zealand, Kanada, AS atau bahkan India (ilegal) sudah sejak akhir 80-an kian mengokohkan ketergantungan Indonesia, menggeser nama sapi bali, sapi madura, dan sapi Nusa Tenggara Barat.

Gema swasembada sapi dan daging sapi dari Kementan(Kementerian Pertanian)memang berdenyar ke segenap penjuru tanahair. Tetapi tahun target pencapaiannya selalu direvisi semolor karet gelang. Gagal! Sebaliknya impor daging sapi cenderung menanjak, jauh di atas angka kuota impor yang 50.000 ton sampai 2010, atau angka kuota 2011 yang 67.000 ton.

Angka-angka Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan HewanKementan tercatat dalam 2007 impor daging sapi mencapai 78.060 ton, lalu 2008 = 92.494 ton, pada 2009 = 111,973 ton, dan 2010 = 119,047 ton. Tahun ini, 2011, diprediksi 74.303 ton, tetapi apakah pencapaiannya sesuai dengan yang diperkirakan?

Tidak hanya ikan, daging sapi, dan susu impor yang mengepung pasar domestik raksasa Indonesia. Tetapi justru broiler(ayam pedaging)dan telur juga disodoktawarkan sebagai “musang berbulu ayam”. Jumlah penduduk yang lebih dari 220 juta jiwa, dan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4 sampai 6 % per tahun, kuat membangkitkan nafsu negara-negara jiran untuk secara legal maupun ilegal coba menjebol daya saing pasar domestik protein hewani yang memang rapuh.

Bahkan AS (Amerika Serikat) yang nun jauh di benua seberang sana pun telah sejak lebih dari se-dasawarsa berulang kali mencoba menyelonongkan CLQ (chicken leg quarter= paha ayam) ke pasar Nusantara dengan harga “sampah”. Begitupun negeri agribisnis maju Amerika Selatan, Brasil, berulang kali menyiasati jalan masuk pasar Indonesia dengan menawarkan daging sapi.

Negeri yang belum dinyatakan bebas dari PMK (penyakit mulut dan kuku) ini sempat mempengaruhi Indonesia untuk menerapkan sistem zoning dalam hal mencegah masuknya produk impor tak bebas PMK(Penyakit Mulut dan Kaki). Untunglah upaya itu digagalkan oleh revisi MK(Mahkamah Konsitusi)atas Permentan nomor 20/2009.

Tetapi Brasil tetap gigih. Ia berusaha menembus jakarta yang memang rentan daya saing. Pekan terakhir Mei yang lalu negeri agribisnis visioner ini untuk yang kelima kalinya lewat “Forum Konsultasi Pertanian Indonesia-Brasil”, disamping daging sapi, juga berusaha keras memasukkan karkas broiler ke Indonesia.

Dengan memainkan pemenuhan syarat kehalalan sampai pun ke biosekuriti, dan memanfaatkan ihwal posisinya sebagai pemasok CPO(minyak sawit), Brasil mengajak Indonesia untuk membuka lebar pasar bagi daging sapi dan karkas broiler-nya.

Tentu saja, desakan ini merisaukan kalangan peternak yang tahu bahwa harga karkas daging ayam Brasil hanya sekitar US$ 0,8. Sementara harga karkas di Jakarta “terpaksa” di atas US$ 1,2. Lebih dari itu, agribisnis perunggasan yang selama ini dikenal tahan banting dan secara substitutif mampu menahan gempuran komoditi impor, akhirnya akan jebol juga.

Buntutnya, sekitar 2 juta tenaga kerja yang langsung terlibat dalam agribisnis ini lambat atau cepat akan layu dan punah bersama sekitar 8 juta keluarga yang bergantung kepadanya. Dalam kaitan itulah dengan cara apapun, penawaran licin Brasil itu tegas ditolak.

0 komentar: