Kamis, 27 Desember 2012

Virus Flu Burung Serang Bebek, Kesengajaan


Penulis : Hermas Effendi Prabowo | Sabtu, 15 Desember 2012 | 07:42 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com — Masuknya virus flu burung H5N1 subclade terbaru yang memusnahkan lebih dari 320.000 ekor bebek di Jawa akibat unsur kesengajaan. Dalih adanya mutasi gen tidak rasional karena dalam waktu singkat terjadi lompatansubclade.
Ketua Pusat Riset Flu Burung Universitas Airlangga Chairil A Nidom mengatakan itu saat dihubungi di Jawa Timur, Sabtu (15/12). Menurut Nidom, kalaupun terjadi mutasi gen, tidak mungkin dalam waktu yang terlampau singkat terjadi perubahan subclade.
Di Indonesia, kata Nidom, ada tiga subclade virus flu burung, yaitu subclade 2.1.1, 2.1.2, dan 2.1.3. "Kalau terjadi mutasi gen, paling mungkin subclade-nya menjadi 2.1.1.1 atau 2.1.2.1 atau 2.1.3.1. Kalau menjadi subclade 2.3.2 ini sudah terjadi lompatan dan sangat tidak mungkin," paparnya.
Karena itu, Nidom bisa memastikan bahwa masuknya virus flu burung subclade 2.3.2 akibat kesengajaan. "Bisa dalam bentuk impor bebek dan produk bebek yang terkontaminasi virus tersebut atau pemasukan dan penggunaan vaksinasi virus H5N1 dengan subclade yang sudah ada di Indonesia, tetapi terkontaminasi subclade 2.3.2," ungkapnya.
Editor :
Robert Adhi Ksp




sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/15/0742140/
Virus.Flu.Burung.Serang.Bebek.Kesengajaan
Read More

Baru Kali Ini Flu Burung Menular Lewat Bebek


TEMPO.COSurabaya - Kepala Laboratorium Avian Influenza Research Centre Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. drh. Chairul Anwar Nidom, menyatakan penyebaran virus flu burung melalui bebek dan burung puyuh baru terjadi kali ini.

”Tidak ada alasan bahwa virus flu burungsubclade 2.3.2 (yang baru) masuk ke Indonesia melalui burung migrasi,” katanya di Laboratorium Bio Safety Level (BSL-3) Unair pada Kamis, 13 Desember 2012.

Ia pun kurang setuju jika pemerintah menyikapinya dengan menghentikan impor bebek demi pengendalian penyakit ini. "Tetapi, kalau keadaan ini dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi bebek dalam negeri, itu bisa saja diterima. Tapi, ya harus konsisten," ujarnya. 

Menurut Nidom, pernyataan pemerintah terkesan mementingkan aspek ekonomi daripada aspek kesehatan masyarakat. Pemerintah seharusnya memberi kewenangan penuh kepada balai karantina untuk melakukan pengecekan unggas yang berada di luar negara Indonesia (negara asal impor unggas) atau memeriksa setiap unggas yang masuk.

Menurut Nidom, pemerintah harus memastikan apakah virus yang baru ini punya potensi menular ke manusia. Menurut dia, Indonesia sudah mempunyai laboratorium yang canggih dan peneliti Indonesia sudah mumpuni untuk riset-riset seperti ini.

SONY WIGNYA WIBAWA



sumber: http://www.tempo.co/read/news/2012/12/13/090448029/Baru-Kali-Ini-Flu-Burung-Menular-Lewat-Bebek
Read More

Kamis, 01 November 2012

Ombudsman Beri 60 Hari kepada UGM untuk Cabut KIK


Ombudsman Beri 60 Hari kepada UGM untuk Cabut KIK

Tribun Jogja - Kamis, 1 November 2012 13:56 WIB

Laporan Reporter Tribun Jogja, Muchamad Fatoni



TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN
 - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pusat meminta pihak UGM untuk menghapus pungutan disinsentif Kartu Identitas Kendaraan (KIK). ORI memberikan jangka waktu selambat-lambatnya 60 hari bagi pihak UGM untuk melaksanakannya.

"Jangka waktu 60 hari terhitung sejak 29 Oktober 2012. Kami sudah memberikan rekomendasi kepada rektor UGM pada 29 Oktober 2012 lalu," ujar Kepala ORI Perwakilan DIY dan Jawa Tengah, Budi Masthuri, Kamis (1/11/2012).

Dalam rekomendasi yang dikeluarkan oleh ORI pusat, pungutan disinsentif KIK termasuk dalam golongan maladministrasi.

"Kami akan berupaya menyelesaikannya sesuai jangka waktu yang diberikan," terang Kepala Bidang Humas UGM, Wijayanti.

(Tribunjogja.com)
Read More

KOMPETISI GAGASAN TERTULIS UGM


KOMPETISI GAGASAN TERTULIS UGM
(K-GT UGM) 2012
Subdit PPKB-Ditmawa UGM
Kompetisi Gagasan Tertulis UGM (K-GT UGM) merupakan wahana mahasiswa dalam berlatih menuliskan ide-ide kreatif sebagai respons intelektual atas persoalan-persoalan aktual yang dihadapi masyarakat. Ide tersebut seyogyanya unik, kreatif dan bermanfaat, sehingga idealisasi kampus sebagai pusat solusi dapat menjadi kenyataan. Sebagai intelektual muda, mahasiswa umumnya cenderung pandai mengungkapkan fakta-fakta sosial, namun melalui K-GT UGM, level nalar mahasiswa tidak hanya dituntut sampai sebatas mengekspos fakta tetapi justru harus mampu memberi atau menawarkan solusi.
Jadilah bagian dari kompetisi, persiapkan Kompetisi PKM GT 2012/2012 dan Menangkan hadiahnya.
poster :


Gagasan tertulis dikumpulkan di Kantor PPKB UGM, Gedung Pusat UGM lantai 2 Sayap Selatan pada jam kerja sebelum tanggal 21 November 2012. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi PPKB di 0274-549290. Panduan, Ketentuan Penulisan dan Format sampur serta halaman pengesahan dapat di unduh di bawah ini.
1. Panduan Gagasan Tertulis UGM (K-GT UGM) 2012, Klik
2. Ketentuan Penulisan K-GT 2012, Klik
3. Format Sampul dan Halaman Pengesahan, Klik

Read More

Rabu, 10 Oktober 2012

Pasar Protein Hewani Terkepung Impor


Beberapa bulan yang lalu KKP (Kementerian Kelautan & Perikanan) menolak memberikan izin impor bakso ikan dari Malaysia. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, 20 juta butir atau setara 500 ton per bulan. Permintaan izin itu diajukan oleh tiga importir Indonesia.

Kalau saja izin itu diluluskan, niscaya 505 unit industri  pengolahan ikan skala besar dan sekitar 20.000 unit pengolahan skala rumahan, lambat atau cepat, akan menuai nasib yang sama dengan industri tekstil maupun industri manufaktur yang sudah lebih dulu babakbelur atau bahkan terkubur. Selama ini khalayak tahu bahwa tanpa izin pun bakso ikan dari Malaysia secara ilegal telah masuk ke pasar Indonesia, baik lewat Batam, Medan, atau pun Entikong – Kalimantan Barat, seiring dengan lele, teri, kembung, patin, daging sapi, ayam pedaging (broiler) dan telur.

Dengan upaya memasukkan bakso dari negeri jiran itu, kian rapatlah kepungan komoditi impor berkandungan protein hewani siap melahap pasar raksasa negeri agromaritim yang kaya sumberdaya alam ini. Sapi dan daging sapi impor dari Aussie, New Zealand, Kanada, AS atau bahkan India (ilegal) sudah sejak akhir 80-an kian mengokohkan ketergantungan Indonesia, menggeser nama sapi bali, sapi madura, dan sapi Nusa Tenggara Barat.

Gema swasembada sapi dan daging sapi dari Kementan(Kementerian Pertanian)memang berdenyar ke segenap penjuru tanahair. Tetapi tahun target pencapaiannya selalu direvisi semolor karet gelang. Gagal! Sebaliknya impor daging sapi cenderung menanjak, jauh di atas angka kuota impor yang 50.000 ton sampai 2010, atau angka kuota 2011 yang 67.000 ton.

Angka-angka Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan HewanKementan tercatat dalam 2007 impor daging sapi mencapai 78.060 ton, lalu 2008 = 92.494 ton, pada 2009 = 111,973 ton, dan 2010 = 119,047 ton. Tahun ini, 2011, diprediksi 74.303 ton, tetapi apakah pencapaiannya sesuai dengan yang diperkirakan?

Tidak hanya ikan, daging sapi, dan susu impor yang mengepung pasar domestik raksasa Indonesia. Tetapi justru broiler(ayam pedaging)dan telur juga disodoktawarkan sebagai “musang berbulu ayam”. Jumlah penduduk yang lebih dari 220 juta jiwa, dan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4 sampai 6 % per tahun, kuat membangkitkan nafsu negara-negara jiran untuk secara legal maupun ilegal coba menjebol daya saing pasar domestik protein hewani yang memang rapuh.

Bahkan AS (Amerika Serikat) yang nun jauh di benua seberang sana pun telah sejak lebih dari se-dasawarsa berulang kali mencoba menyelonongkan CLQ (chicken leg quarter= paha ayam) ke pasar Nusantara dengan harga “sampah”. Begitupun negeri agribisnis maju Amerika Selatan, Brasil, berulang kali menyiasati jalan masuk pasar Indonesia dengan menawarkan daging sapi.

Negeri yang belum dinyatakan bebas dari PMK (penyakit mulut dan kuku) ini sempat mempengaruhi Indonesia untuk menerapkan sistem zoning dalam hal mencegah masuknya produk impor tak bebas PMK(Penyakit Mulut dan Kaki). Untunglah upaya itu digagalkan oleh revisi MK(Mahkamah Konsitusi)atas Permentan nomor 20/2009.

Tetapi Brasil tetap gigih. Ia berusaha menembus jakarta yang memang rentan daya saing. Pekan terakhir Mei yang lalu negeri agribisnis visioner ini untuk yang kelima kalinya lewat “Forum Konsultasi Pertanian Indonesia-Brasil”, disamping daging sapi, juga berusaha keras memasukkan karkas broiler ke Indonesia.

Dengan memainkan pemenuhan syarat kehalalan sampai pun ke biosekuriti, dan memanfaatkan ihwal posisinya sebagai pemasok CPO(minyak sawit), Brasil mengajak Indonesia untuk membuka lebar pasar bagi daging sapi dan karkas broiler-nya.

Tentu saja, desakan ini merisaukan kalangan peternak yang tahu bahwa harga karkas daging ayam Brasil hanya sekitar US$ 0,8. Sementara harga karkas di Jakarta “terpaksa” di atas US$ 1,2. Lebih dari itu, agribisnis perunggasan yang selama ini dikenal tahan banting dan secara substitutif mampu menahan gempuran komoditi impor, akhirnya akan jebol juga.

Buntutnya, sekitar 2 juta tenaga kerja yang langsung terlibat dalam agribisnis ini lambat atau cepat akan layu dan punah bersama sekitar 8 juta keluarga yang bergantung kepadanya. Dalam kaitan itulah dengan cara apapun, penawaran licin Brasil itu tegas ditolak.

Read More

TROBOS LIVESTOCK : Dibutuhkan, Revolusi Pangan


IDEALNYA, untuk memenuhi kebutuhan susu di pasar dalam negeri yang sekitar 6,9 juta juta liter per hari (dengan asumsi jumlah konsumsi 11,9 liter per kapita per tahun), itu artinya harus diternakkan tak kurang dari 2.000.000 (dua juta) sapi perah. Angka-angka ini tentu saja menyesakkan dada bila diingat bahwa data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan, jumlah nyata sapi perah yang diternakkan tak lebih dari  598.000 ekor.


Hanya sekitar 250.000 ekor dari jumlah itu yang terhitung produktif, angka rata-rata 10 liter per hari per ekor. Produksi susu baru mencapai 577 ton, merupakan 42 % kebutuhan susu dalam negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa produktivitas ternak sapi perah yang ada di Indonesia masih sangat rendah. Karenanya tak mengejutkan bila dibilang bahwa susu termasuk bahan pangan paling tergantung pada impor.

Hampir lebih dari tiga dasawarsa, tiap tahun tak kurang dari 75 % kebutuhan konsumsi susu itu antaralain diimpor dari Australia, Selandia Baru, dan Kanada. Sekitar 25 % sisanya, mengandalkan pada produk peternakan sapi perah milik rakyat, baik dari peternakan swasta maupun perorangan dan kemitraan.

Ketergantungan impor itu, secara langsung atau pun tidak langsung, kian terasa menjebak perkembangan dan pengembangan indusri persusuan nasional. Padahal bukan saja pasar domestik sangat besar tetapi juga sangat terbuka. Dan prospeknya pun sangat menjanjikan (Lihat tabel berikut). Oleh karena itu menjadi tidak mudah diperdebatkan mengapa (sampai kuartal pertama 2011) sekitar 87 %  (data Nielsen) pasar susu Indonesia dibiarkan dikuasai produsen susu bubuk asing. .

PENGUASAANpasar domestik oleh produsen susu asing sebesar itu, jelas menghadangkan ganjalan bagi program ketahanan dan ketersediaan pangan nasional. Dalam kondisi “normal”, penguasaan itu dinilai masuk akal. Tetapi bila terjadi kondisi krisis nasional atau regional atau pun global; baik apakah itu krisis ekonomi/moneter/perdagangan, wabah penyakit, krisis politik/militer, atau katakanlah krisis pangan karena cuaca (contoh: kekeringan di AS), tidak lah mudah untuk mengiyakan nada pembenaran bahwa tingginya penguasaan pasar susu bubuk oleh perusahaan asing di Indonesia saat ini merupakan hal yang wajar.

Pembenaran yang terakhir disebutkan itu niscaya kian menimbulkan kemaqulan ketika seorang pentolan asosiasi menilai “pemain asing dalam industri susu bubuk di Indonesia nyatanya menjadi pelopor pengembangan sektor industri ini. Tidak masalah jika asing menguasai pasar susu bubuk di Indonesia, karena mereka itu pioner dari dulu."
Konstantasi itu lebih mendekatkan persepsi kita tentang kerakusan kapitalisme semu yang membuka pintu bagi terkaman pasar global. Terlebih, kemasqulan itu kian tajam ketika dengan santainya, seorang petinggi kementerian perindustrian membenarkan, sebagian besar perusahaan yang memproduksi susu bubuk memang dimiliki oleh asing.

Mengingat tingkat konsumsi susu nasional  masih rendah, maka pengembangan pasar susu nasional diarahkan ke peningkatan konsumsi. "Industri pengolahan susu sangat terbuka bagi produsen asing, siapa saja boleh masuk, karena sektor industri ini menyangkut kebutuhan masyarakat. Yang penting kami fokus untuk meningkatkan pasarnya dulu, investasi lokal akan bersaing kalau pasarnya besar," demikian kilah petinggi itu.

Kita jadi tertegun gamang mendengar konstatasi pentolan dan birokrat petinggi itu. Betapa entengnya fragmatisme diangkat ke permukaan posisi mereka masing-masing yang sangat setrategis. Padahal mereka selayaknya memahami bahwa ketergantungan kebutuhan terhadap bahan baku susu impor, dan dominasi modal asing  yang lebih besar ketimbang modal domestik, lambat atau cepat, niscaya bakal mencekik kemandirian negara baik secara politis maupun ekonomis. Ini tidak sekadar soal sentimen nasionalisme, tetapi lebih menyangkut ke masalah kedaulatan pangan yang pada gilirannya berkait dengan kedaulatan ekonomi dan kedaulatan politik.

SEBAGAIMANA kondisi komoditi pangan yang lain, arus susu impor pun kian deras menggelontor ke pasar dalam negeri. Terlebih ketika produk industri sapi perah lokal tergencet daya saing produk impor, baik karena harga, kualitas dan derajat kesehatan, SDM, maupun karena sarana, prasarana/sanitari/infrastruktur jauh lebih terindustrialistik, mapan. Dengan kata lain, dari sisi mana pun kita melihat, terpaksa diakui bahwa sangat tidak terlalu gampang untuk membendung arus susu impor. Dan lebih tidak gampang lagi untuk mereduksi hegemoni modal asing  dan produk industrinya di pasar domestik yang terbuka dan sangat mejanjikan itu.

Kenyataan pahit ini, dengan kemasqulan yang tak tersembunyi, terpaksa dihadapi dengan fragmatisme yang senada dengan konstatasi pentolan asosiasi dan birokrat petinggi kementerian perindustrian tersebut di atas. Kecuali bila pemerintah secara visioner, yakin, tegas dan berani merancang dan sekaligus mendorong segenap anak negeri Republik ini, berdasarkan “GBHN” melaksanakan “Revolusi Pangan”.

Termasuk di dalamnya revolusi putih, revolusi hijau/pertanian, dan revolusi biru/perikanan/kelautan. Tentu saja “revolusi pangan” itu harus didahului dengan gerakan kesantunan simultan: re-reformasi tata pemerintahan otonom. Selagi dunia menghadapi ancaman krisis pangan global, gagasan revolusi itu layak untuk dipertimbangkan. 

Read More

Pembukaan KIVNAS ke 12 PDHI


Read More