IDEALNYA, untuk memenuhi kebutuhan susu di pasar dalam negeri yang sekitar 6,9 juta juta liter per hari (dengan asumsi jumlah konsumsi 11,9 liter per kapita per tahun), itu artinya harus diternakkan tak kurang dari 2.000.000 (dua juta) sapi perah. Angka-angka ini tentu saja menyesakkan dada bila diingat bahwa data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan, jumlah nyata sapi perah yang diternakkan tak lebih dari 598.000 ekor.
Hanya sekitar 250.000 ekor dari jumlah itu yang terhitung produktif, angka rata-rata 10 liter per hari per ekor. Produksi susu baru mencapai 577 ton, merupakan 42 % kebutuhan susu dalam negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa produktivitas ternak sapi perah yang ada di Indonesia masih sangat rendah. Karenanya tak mengejutkan bila dibilang bahwa susu termasuk bahan pangan paling tergantung pada impor.
Hampir lebih dari tiga dasawarsa, tiap tahun tak kurang dari 75 % kebutuhan konsumsi susu itu antaralain diimpor dari Australia, Selandia Baru, dan Kanada. Sekitar 25 % sisanya, mengandalkan pada produk peternakan sapi perah milik rakyat, baik dari peternakan swasta maupun perorangan dan kemitraan.
Ketergantungan impor itu, secara langsung atau pun tidak langsung, kian terasa menjebak perkembangan dan pengembangan indusri persusuan nasional. Padahal bukan saja pasar domestik sangat besar tetapi juga sangat terbuka. Dan prospeknya pun sangat menjanjikan (Lihat tabel berikut). Oleh karena itu menjadi tidak mudah diperdebatkan mengapa (sampai kuartal pertama 2011) sekitar 87 % (data Nielsen) pasar susu Indonesia dibiarkan dikuasai produsen susu bubuk asing. .
PENGUASAANpasar domestik oleh produsen susu asing sebesar itu, jelas menghadangkan ganjalan bagi program ketahanan dan ketersediaan pangan nasional. Dalam kondisi “normal”, penguasaan itu dinilai masuk akal. Tetapi bila terjadi kondisi krisis nasional atau regional atau pun global; baik apakah itu krisis ekonomi/moneter/perdagangan, wabah penyakit, krisis politik/militer, atau katakanlah krisis pangan karena cuaca (contoh: kekeringan di AS), tidak lah mudah untuk mengiyakan nada pembenaran bahwa tingginya penguasaan pasar susu bubuk oleh perusahaan asing di Indonesia saat ini merupakan hal yang wajar.
Pembenaran yang terakhir disebutkan itu niscaya kian menimbulkan kemaqulan ketika seorang pentolan asosiasi menilai “pemain asing dalam industri susu bubuk di Indonesia nyatanya menjadi pelopor pengembangan sektor industri ini. Tidak masalah jika asing menguasai pasar susu bubuk di Indonesia, karena mereka itu pioner dari dulu."
Konstantasi itu lebih mendekatkan persepsi kita tentang kerakusan kapitalisme semu yang membuka pintu bagi terkaman pasar global. Terlebih, kemasqulan itu kian tajam ketika dengan santainya, seorang petinggi kementerian perindustrian membenarkan, sebagian besar perusahaan yang memproduksi susu bubuk memang dimiliki oleh asing.
Mengingat tingkat konsumsi susu nasional masih rendah, maka pengembangan pasar susu nasional diarahkan ke peningkatan konsumsi. "Industri pengolahan susu sangat terbuka bagi produsen asing, siapa saja boleh masuk, karena sektor industri ini menyangkut kebutuhan masyarakat. Yang penting kami fokus untuk meningkatkan pasarnya dulu, investasi lokal akan bersaing kalau pasarnya besar," demikian kilah petinggi itu.
Kita jadi tertegun gamang mendengar konstatasi pentolan dan birokrat petinggi itu. Betapa entengnya fragmatisme diangkat ke permukaan posisi mereka masing-masing yang sangat setrategis. Padahal mereka selayaknya memahami bahwa ketergantungan kebutuhan terhadap bahan baku susu impor, dan dominasi modal asing yang lebih besar ketimbang modal domestik, lambat atau cepat, niscaya bakal mencekik kemandirian negara baik secara politis maupun ekonomis. Ini tidak sekadar soal sentimen nasionalisme, tetapi lebih menyangkut ke masalah kedaulatan pangan yang pada gilirannya berkait dengan kedaulatan ekonomi dan kedaulatan politik.
SEBAGAIMANA kondisi komoditi pangan yang lain, arus susu impor pun kian deras menggelontor ke pasar dalam negeri. Terlebih ketika produk industri sapi perah lokal tergencet daya saing produk impor, baik karena harga, kualitas dan derajat kesehatan, SDM, maupun karena sarana, prasarana/sanitari/infrastruktur jauh lebih terindustrialistik, mapan. Dengan kata lain, dari sisi mana pun kita melihat, terpaksa diakui bahwa sangat tidak terlalu gampang untuk membendung arus susu impor. Dan lebih tidak gampang lagi untuk mereduksi hegemoni modal asing dan produk industrinya di pasar domestik yang terbuka dan sangat mejanjikan itu.
Kenyataan pahit ini, dengan kemasqulan yang tak tersembunyi, terpaksa dihadapi dengan fragmatisme yang senada dengan konstatasi pentolan asosiasi dan birokrat petinggi kementerian perindustrian tersebut di atas. Kecuali bila pemerintah secara visioner, yakin, tegas dan berani merancang dan sekaligus mendorong segenap anak negeri Republik ini, berdasarkan “GBHN” melaksanakan “Revolusi Pangan”.
Termasuk di dalamnya revolusi putih, revolusi hijau/pertanian, dan revolusi biru/perikanan/kelautan. Tentu saja “revolusi pangan” itu harus didahului dengan gerakan kesantunan simultan: re-reformasi tata pemerintahan otonom. Selagi dunia menghadapi ancaman krisis pangan global, gagasan revolusi itu layak untuk dipertimbangkan.